Masyarakat Suku Osing adalah populasi penduduk yang tinggal di bagian timur pulau Jawa di Indonesia yaitu kabupaten Banyuwangi. Banyuwangi tercipta dari proses sosial yang cukup luas, penuh ketegangan dan konflik antara penduduk dengan penguasa di masa lampau.
Suku Osing adalah orang-orang keturunan asli dari kerajaan Blambangan. Sebelumnya, Banyuwangi dikenal sebagai Blambangan, salah satu Kadipaten di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit. Nama Banyuwangi sendiri berasal dari kata banyu, berarti “air” dan wangi, berarti “wangi” ini berasal dari legenda Sri Tanjung Sidopekso. Cerita ini pertama kali diperkenalkan pada masyarakat global melalui Banyuwangi Ethno Carnival tahun 2016 dengan tema “Legenda Sri Tanjung Sidopekso”.
Banyuwangi berada di sisi antara masyarakat dengan penguasa Jawa bagian barat (wong kulonan) dan Bali. Banyuwangi adalah pusat kekuasaan politik kerajaan Blambangan. Pada awalnya bagian dari Kerajaan Majapahit, seperti tertulis dalam berbagai Babad: Babad Wilis, Babad Sembar, Babad Tawang Alun, Babad Mas Sepuh, Babad Bayu dan Babad Notodiningratan.
Sejarah suku Osing dimulai pada akhir abad ke-15, pada saat jatuhnya kerajaan Majapahit karena menentang konversi Islam. Banyak dari mereka melarikan diri ke timur Banyuwangi, Bali dan Lombok. Keruntuhan Majapahit merupakan momentum Blambangan untuk memisahkan diri dari otoritas manapapun. Dengan demikian para pangeran Majapahit mempertahankan kerajaan Blambangan. Pengaruh kekuasaannya membentang dari semenanjung Blambangan hingga pegunungan Tengger, di Jawa Timur mereka memegang kekuasaan selama lebih dari dua ratus tahun.
Kemudian datang Kerajaan Demak, Pasuruan, Mataram dan Bali memandang Blambangan sebagai target monopoli mereka. Namun suku Osing ini sulit untuk ditaklukkan. Serangan pertama dari kerajaan Mataram pada tahun 1743. Bahkan Mataram bekerjasama dengan VOC berusaha untuk menaklukkan Blambangan 1767. Serangan Mataram berikutnya pada tahun 1771-1772. Tapi mereka mendapat perlawanan keras dari Blambangan yang dipimpin oleh Mas Rempeg atau Pangeran Jagapati. Perang tersebut dikenal sebagai perang Puputan Bayu.
Suku Osing dan Masyarakat Urban
Sebelum awal kemerdekaan Indonesia, Banyuwangi telah menjadi tujuan imigrasi para buruh di sektor pertanian dan lainnya perkebunan. Daerah ini mempunyai perkebunan yang dibuka dan dikembangkan oleh Belanda dari akhir abad 19. Populasi mereka sekitar 400.000 berpusat di provinsi Jawa Timur di Kabupaten Banyuwangi.
Belanda kemudian mendatangkan buruh dari Cirebon, Kabupaten Banyumas dan Kebumen untuk bekerja di perkebunan mereka buka di Blambangan. Hal ini kemudian diikuti oleh imigran dari Jawa kulonan untuk berbagai macam mata pencaharian, terutama di perkebunan dan sektor pertanian dari akhir abad 18. Berikutnya pendatang dari Madura, Bali, Bugis dan Mandar sehingga dari awal abad 19. Sejak saat itu masyarakat suku Osing berbaur dengan berbagai pendatang baru untuk menghuni kabupaten Banyuwangi. Sehingga pada akhir abad ke 19 Banyuwangi dihuni 100.000 jiwa, dan lebih dari setengahnya adalah pendatang.
Kebanyakan pendatang berasal dari daerah barat Jawa Timur (Ponorogo, Madiun, Bojonegoro), Jawa Tengah, Yogyakarta, Madura, Bugis-Makassar dan Mandar. Itu terjadi karena masyarakat suku Osing lebih suka menetap di daerah pertanian subur, karena bertani adalah mata pencaharian mereka. Para pendatang dari luar pulau cenderung menetap di pantai karena mereka bekerja sebagai nelayan. Mereka banyak menetap di pantai-pantai seperti di Muncar, Grajangan, Pancer dan Bulusan.
Kehadiran para imigran berasal dari berbagai daerah dan etnis mereka hidup berdampingan dengan masyarakat asli Banyuwangi. Kemudian saat terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) diperlukan interaksi antar wilayah, etnis maupun ras. Oleh karena itu, masyarakat suku Osing harus bisa berinteraksi, melakukan perdagangan, bernegosiasi bahkan mungkin harus bersaing dengan para pendatang.
Budaya dan Religiusitas Masyarakat Suku Osing
Upacara budaya adalah perilaku stereotip mencakup gerakan, kata-kata termasuk benda-benda yang digunakan di tempat-tempat tertentu. Ini dirancang untuk mempengaruhi entitas alami atau dimaksudkan sebagai kekuatan. Masyarakat suku Osing percaya bahwa setelah sungkeman, hidup menjadi damai dan terhindar dari Roh-roh negatif dan panen baik. Mereka meyakini jika tidak melakukan ritual maka akan terjadi ketidak harmonisan dan keseimbangan ekologi mereka akan terganggu, seperti kegagalan panen dan pagebluk.
Selain itu nama-nama julukan mereka, warung bathokan, tatanan sosial dan istilah ‘Laros’ atau Lare Osing, wong Banyuwangi asli, wong Banyuwangen atau wong Blambangan yang masih ada hingga sekarang. Masyarakat suku Osing begitu antusias melestarikan seni dan ritual budaya mereka. Meskipun ritual budaya dan seni pertunjukan Jawa dan Bali juga berpengaruh. Namun para ahli mengkategorikan mereka sebagai representasi spesifik wawasan dan sikap egaliter masyarakat untuk mengindikasikan roh marjinalitas.
Semua ini berkembang menjadi identitas budaya yang cenderung berkaitan dengan hibriditas dan diaspora. Identitas bukanlah esensi, tetapi atribut dari beberapa identifikasi sebagai petunjuk bagaimana kita menempatkan dan memposisikan diri dalam masyarakat. Aspek-aspek budaya dan sejarah suku Osing tak bisa terelakkan. Melihat identitas sebagai produk yang tidak pernah selesai, karena selalu dalam proses dan terus dikembangkan dalam representasi. Karena identitas tidak bergerak statis, tetapi terus-menerus dibangun dalam ruang dan waktu, sehingga menjadi kompleks dan heterogen.
Analisis etnografi adalah tentang mengurai kembali catatan-catatan lapangan untuk mengetahui budaya dan hubungan antara simbol-simbol itu dalam bahasa Osing. Analisis etnografi mengasumsikan bahwa seseorang telah memahami serangkaian kategori budaya, mempelajari hubungan mereka. Tetapi juga harus menyadari apa yang menghubungkan mereka semua. Selain itu, metode interpretasi ini digunakan untuk menggali lebih dalam kemudian dinaturalisasikan di berbagai domain dan subjek karakteristik kegiatan. Aspek kritis dari etnografi diterapkan pada semua ini berfokus pada pengolahan komprehensif dan analisis temuan lapangan.
Bahasa Osing
Ciri khas masyarakat suku Osing terlihat dalam keengganan mereka untuk menyatakan diri sebagai orang Jawa dan tetap menggunakan Bahasa Osing atau Using. Bahasa Using adalah sebuah dialek yang dugunakan di wilayah Blambangan. Bebenarnya bahasa Osing adalah cabang langsung dari bahasa Kawi namun tidak berproses melalui bahasa Jawa terlebih dulu.
Jadi sebenarnya bahasa asli suku Osing ini adalah salah satu varian bahasa Jawa kuno yang selalu dugunakan di Banyuwangi. ‘Osing’ berasal dari kata yang artinya ‘Tidak’. Kata ini dari bahasa Bali ‘Tusing’. Dialek Banyuwangen ini agak beda dengan dialek Jawa lainya misalnya abjad vokal di akhir kata diucapkan beda. Selain itu banyak dari perkataan masyarakat suku Osing ini tidak di temukan pada dialek Jawa manapun. Kata-kata itu banyak berasal dari bahasa Kawi atau Bali. Banyak juga perkataan dipengaruhi oleh bahasa Bali bahasa Madura dan kadang bahasa Inggris.
Ada lagi kata-kata yang berasal dari bahasa Inggris zaman belanda. Dulu awalnya banyak tuan tanah dari Inggris menempati perkebunan-perkebunan di wilayah Glenmore, Kalibaru dan Genteng. Dari situlah bahasa Inggris mempengaruhi bahasa masyarakat suku Osing. Terdapat perbedaan dialek Using yang digunakan di kacamatan-kacamatan wilayah utara Banyuwangi dengan Using di kacamatan-kacamatan bagian selatan. Contoh ucapan dialek Osing misalnya “Kabare klendi” diucapkan menjadi “Kabyare klendai” artinya “Bagaimana kabarnya”.
Bahasa atau dialek Using ini diucapkan oleh kira-kira separuh wilayah orang Banyuwangi, dan yang lain pada umumnya menggunakan bahasa Jawa atau Madura. Bahasa Using juga di temukan di wilayah Jember dan Lumajang. Meskipun pengguna bahasa atau dialek Using jumlahnya semakin sedikit namun masyarakat suku Osing masih bertahan dalam budaya mereka.