Menurut sejarah bahasa Jawa merupakan rumpun dari bahasa Austronesia; yaitu bahasa-bahasa yang di pakai beberapa suku bangsa di kepulauan selatan (tenggara) daratan asia.
Bahasa ini tersebar mulai ujung barat pulau Jawa, Banten hingga ujung timur Banyuwangi. Ia memiliki kurang lebih 80 juta suku kata. Meskipun bukan bahasa resmi di manapun, namun bahasa ini paling banyak memiliki suku kata. Bahasa Jawa diucapkan dan dimengerti oleh kurang lebih 80 juta jiwa manusia. Populasi bahasa Jawa juga banyak diucapkan di seluruh Indonesia, negara-negara tetangga di Asia Tenggara, Belanda, Suriname, Kaledonia Baru, Timor Timur, Malaysia, Singapura, Taiwan, Hong Kong dan Curacao.
Jadi bisa dikatakan bahasa ini masih saudara dekat dengan bahasa Melayu, Sunda, Madura, Bali dan juga bahasa di kepulauan Sumatra bahkan Kalimantan. Mereka paling banyak digunakan di Jawa Tengah, Jawa Timur dan juga pesisir utara Jawa Barat kemudian di Madura, Bali, Lombok dan Sunda. Di Jawa Barat bahasa Jawa juga diterapakan menjadi bahasa sastra. Bahkan juga di kerajaan Palembang, Sumatra Selatan. Sebelum kerajaan ini dijajah oleh Belanda diakhir abad ke 18, bahasa ini bisa di anggap sebagai salah satu bahasa klasik di dunia.
Kurang lebih 45 % penduduk Indonesia adalah keturunan Jawa atau tinggal di pulau ini. Bahkan hampir semua presiden Indonesia sejak tahun 1945 adalah keturunan Jawa. BJ Habibie pun bilang bahwa ibunnya orang Jawa. Populasi pengucap terbesar ditemukan di enam provinsi; yaitu Jawa sendiri dan di provinsi sebagian Sumatra terutama Lampung. Bahkan bahasa ini tersebar di Indonesia dari Sumatra hingga Papua.
Jadi tidak heran jika sejarah bahasa Jawa memberikan pengaruh besar dalam perkembangane bahasa Indonesia. Meskipun bukan bahasa resmi di pemerintahan bahasa ini mempunya peran lebih banyak dari pada bahasa daerah lainya. Sehingga bahasa ini merupakan salah satu penyumbang terbesar bagi terlahirnya bahasa nasional Indonesia. Seperti dalam kosakata dan istilah-istilah yang kadangkala menggunakan kata bahasa ini sebagai subcabang dari keluarga bahasa Melayu Polinesia barat. Kemudian dari bahasa Melayu Polinesia yang juga termasuk rumpun dari bahasa Austronesia.
Sejarah Bahasa Jawa dalam Sastra
Sejarah sastra Jawa dibagi menjadi empat jaman. Selain itu ada lagi kategori Mirunggan yaitu sastra Jawa Bali. Sastra ini merupakan terusan dari sastra Jawa Tengahan. Selanjutnya ada juga sastra Jawa lombok, Jawa Sunda, Jawa Madura dan sastra Jawa Palembang. Dari semua sastra tradisional nusantara, dalam sejarah bahasa Jawa adalah yang paling unggul dan terbanyak tersimpan karya sastranya. Lebih dari 12 abad yang lalu para peneliti sejarah bahasa Jawa menemukan empat tahap penulisan.
Awalnya mereka ditulis menggunakan huruf turunan dari huruf Brahmi atau Pallawa yang berasal dari sebelah selatan India. Huruf Hanacaraka yang di pakai hingga sekarang. Kemudian pada masa kejayaan Islam pada abad 1516 huruf Arab juga digunakan untuk menulis bahasa Jawa. Huruf ini dinamakan aksara Pegon. Dan setelah datangnya bangsa Eropa di tanah Jawa huruf Latin mulai digunakan.
Di tahun 1980, 22 dari 27 provinsi di Indonesia waktu itu yang mengucapkan bahasa lainnya. Misalnya Kawi sebagai bahasa sastra mereka. Banyak perkataan dari bahasa Kawi diambil dari Sansekreta. Bahasa Kawi sering juga disebut sebagai bahasa Jawa kuno. Bahasa ini banyak ditemukan pada prasasti atau kakawin. Meskipun kata-katanya beda dengan bahasa Jawa kuno, karena bahasa kawi hanya untuk kesusastraan. Karena dari sejarah bahasa Jawa kuno adalah alat komunikasi seperti yang diucapkan saat ini.
Tapi sebenarnya bahasa Kawi ini belum punah juga karena masih sering di pakai pada pagelaran wayang golek, wayang wong dan wayang kulit. Selain itu juga sering dipakai pada acara adat Jawa seperti pada acara palakrama atau upacara perkawinan. Hal ini ditemukan pada pembuka sastra pada prasasti yang ditemukan di sebuah perkebunan Sukabumi. Prasasti Sukabumi ini ditulis pada tanggal 25 maret tahun 804 masehi. Isinya ditulis menggunakan bahasa Jawa kuno. Terdapat juga prasasti lainnya yaitu di kecamatan Pare, Kediri, Jawa Timur dari tahun 856 masehi yang berisi tembang kakawin. Namun kakawin tersebut isinya sudah tidak utuh lagi. Di situ tertulis tembang bahasa Jawa kuno yang tertua.
Perkembangan Bahasa Jawa Kuno Tidak Statis
Penggunaan mereka mencakup periode sekitar 500 tahun sejak prasasti Sukabumi sampai berdirinya Kerajaan Majapahit pada tahun 1292. Memang terdapat beberapa perubahan hingga hampir menyamai bahasa Jawa modern. Pengaruh linguistik India dalam bahasa Sansekerta ini hampir secara eksklusif mempengaruhi bahasa ini. Karena tidak ada bukti unsur linguistik India di Jawa selain Sanskerta. Ini adalah bentuk yang berbeda, misalnya pengaruh linguistik India dalam bahasa Melayu Sanskerta telah berdampak mendalam dan langgeng pada kosakatanya.
Bahasa Austronesia adalah kekuatan pembentuk yang paling kuat pada Jawa kuno, yang mewariskan banyak sekali kosa kata, struktur kalimat dan tata bahasa. Dibagikan dengan bahasa saudara serumpunnya di Asia Tenggara yang dipengaruhi bahasa Sanskerta. Terlepas dari pengaruh Sanskerta yang luar biasa, pada akhirnya tetap juga merupakan bahasa Austronesia. Namun bahasa Sanskerta juga memengaruhi fonologi dan kosakata ini. Dalam Sejarah bahasa Jawa kuno mengandung konsonan retroflex, yang mungkin berasal dari bahasa Sansekerta.
Itulah yang diperdebatkan oleh beberapa ahli bahasa yang berpendapat bahwa ada kemungkinan juga terjadinya konsonan retroflex. Itu adalah perkembangan independen dalam kosakata keluarga bahasa Austronesia. Pertanyaan terkait adalah bentuk di mana kata-kata Sanskerta dipinjamkan dalam bahasa Jawa kuno. Kata-kata Sanskerta yang dipinjam di sini hampir tanpa kecuali kata benda dan kata sifat. Di sana di bawah klien membentuk daftar kata dari 200 item kosakata dasar. Ini tersedia di database kosa kata dasar Austronesia yang menunjukkan beberapa pinjaman ini.
Pembagian Bahasa Jawa
Pada perkembangan di era modern Bahasa ini bisa dibagi menjadi tiga dialek. Yaitu dialek Jawa Barat, dialek Jawa Tengah dan dialek Jawa Timur. Di pulau Jawa ada yang dinamakan “Dialect continuum” atau kesinambungan; yaitu dialek dari Banten di ujung barat hingga ujung timur Banyuwangi. Dan semua dialek bahasa Jawa kurang lebih bisa dimengerti oleh masing-masing ketiganya. Istilahnya “mutually intelligible fonem”. Ini terlihat pada penulisan dengan huruf latin di era modern, suara konsonan wyanjana menggunakan tanda fonem alofon.
Di bawah ini terdapat beberapa pembagian oleh para ahli sejarah bahasa Jawa yaitu: Poerwadarminta dan Uhlenbeck. Selain itu juga ditambahkan pendapat oleh Wurm dan Hattori. Dalam hal ini Hattori menggambarkan peta pembagian dialek. Meskipun ada perbedaan pendapat diantara para ahli ini dengan Poerwadarminta dalam buku “Sarining Paramasastra Djawa” yang menyatakan bahwa dalam dialek-dialek ada dialek-dialek. Dan menurut ahli bahasa dari Belanda EM Uhlenbeck di bukunnya “A critical survey of studies on the languages of java and madura 1964” dikelompokkan menjadi tiga rumpun kelompok yang umumnya disebut:
- Ngapak atau penginyongan
- Jawa baku
- Jawa wetanan
Dan menurut Wurm dan Hattori bahasa Jawa di pulau Jawa dibagi menjadi banyak dialek. Menurutnya bahasa Jawa bisa dibagi menurut perilaku atau juga dinamakan strata menurut undha usuk atau tatakrama. Di sini juga ada beberapa perkataan krama inggil dan krama andhap yang bisa dipakai disetiap masing-masing strata.
Contoh Dalam Bahasa Jawa:
- Ngoko: “Yen ndasmu lara gek ndang madang wae”
- Ngoko Halus: “Menowo sirahmu lara gek ndang madang wae”
- Krama: “Menawi sirah sampean sakit enggal neda mawon”
- Krama Inggil: “Mbok menawi mustaka panjenengan gerah kula aturi enggal dahar kemawon”
Dari contoh di atas kita bisa tahu bahwa bahasa Jawa punya banyak sekali cara pengucapannya; terdapat dialek sosial yang dibagi menurut hierarkhi, dari kasar hingga halus. Ngoko dan ngoko halus atau bahasa Jawa rendah diucapkan oleh orang kebanyakan. Atau juga bahasa orang-orang yang berpangkat lebih tinggi berbicara kepada yang lebih rendah. Begitu sebaliknya krama atau krama inggil adalah bahasa sopan yang diucapkan kepada orang-orang yang lebih tinggi strata sosialnya. Selain itu ada dialek yang berdasarkan daerahnya. Dan tidak semua dialek dalam sejarah bahasa Jawa dimengarti oleh semua orang Jawa.