Sebelum kita bahas praktik pengebirian dan eksploitasi seni pada lagu Genjer Genjer yang dalam hal ini sebagai korbannya. Saya akan tuliskan dulu apa yang mendasari semua ini. Seni adalah hasil karya olah pikir seseorang yang dituangkan dalam bentuk bermacam-macam sesuai dengan jenis talenta yang dimiliki oleh tiap seniman.
Lantas bagaimana lagu Genjer Genjer mengalami praktik eksploitasi seni dalam masyarakat sehingga hasil olah pikir murni tersebut menjadi invalid keberadaanya. Praktik semacam ini masih banyak terjadi karena hal-hal yang berhubungan dengan psikologi masyarakat, rendahnya edukasi terhadap nilainya, pengaruh norma adat, agama dan sosial politik. Sehingga seni adalah hanya sesuatu yang dianggap memiliki nilai, fungsi dan kegunaan akan dipakai sedangkan jika sebaliknya ia hanya akan menjadi bukan apa-apa.
Lantas seni yang macam apa yang akan dipakai dan dianggap layak mendapat tempat di dalam masyarakat secara umum dan tidak umum? Kita lihat bagaimana ia mendapat tempat dan dianggap berfungsi di dalam dunia panggung sosial politik ketika sebuah hajat besar pemilihan umum. Ia menjadi sebuah gula yang berhasil mengumpulkan ribuan semut.
Tetapi seni yang semacam itu telah kehilangan ruh sejatinya dalam pandangan seniman, karena pada hakekatnya telah terjadi eksploitasi seni dalam masyarakat oleh sekelompok manusia yang memiliki tujuan terselubung yang akan menguntungkan kelompoknya saja. Sedangkan masyarakat telah hanyut dipermukaan akan keindahannya tanpa berpikir ada apa disebaliknya ataupun lebih jauh lagi berpikir bagaimana proses penciptaan seni yang telah dinikmatinya itu. Dalam hal ini seni dianggap memiliki nilai fungsi dan dianggap layak mendapat tempat di masyarakat.
Alih-alih menjadi nilai fungsi dalam masyarakat sejatinya praktik seni yang semacam itu telah mendapat pergeseran nilai dalam budaya. Lagu Genjer Genjer hanyalah menjadi alat politik dan dianggap berhasil mendulang sesuatu yang besar di mata politik, tanpa adanya penghargaan atas nilai yang hakiki di dalamnya. Bagi pelaku seni itu sendiri ia hanyalah seorang yang mengaku seniman tanpa belajar lebih jauh lagi nilai-nilai yang ada di dalamnya selain hanya berpandangan pada tujuan pribadinya saja.
Apakah terlintas dibenaknya ia telah mendukung praktik eksploitasi seni dalam masyarakat? Dalam bahasa sarkas jawabannya adalah “iya” tanpa disadari oleh pelaku seni itu sendiri.
Sebenarnya bagaimana kondisi psikologi seniman itu sendiri ketika mendapati eksploitasi seni dalam masyarakat terjadi, ia tidak bisa berbuat banyak tetapi tetap meneriakkan suara hatinya bahkan ada juga yang ibarat melacurkan diri terjun di dalam dunia eksploitasi itu dengan sebuah dalih tentunya. Bukankan setiap sisi kehidupan kita mengandung nilai seni dan perlu totalitas di dalamnya termasuk ekploitasi itu sendiri adalah seni..!
Pengebirian Dan Eksploitasi Seni
Sebuah contoh ketika praktik eksploitasi seni dalam rezim telah mencengkeram kebebasan berkesenian sejak lagu Genjer Genjer menjadi layaknya ujung pedang tajam yang menakutkan bagi masyarakat khususnya Banyuwangi. Hingga kini orang-orang setempat enggan menyentuh lagu itu karena takut dicap sebagai pengikut Partai Komunis Indonesia (PKI). Masyarakat Banyuwangi telanjur memaknai bahwa PKI adalah sebuah partai dan yang berkumpul di dalamnya adalah orang-orang tidak beragama dan menentang agama khususnya musuh Islam.
Pada tahap pertama psikologi intra budaya yang mengalami pengaruhnya langsung karena hingga saat ini sebagian masyarakat Banyuwangi sangat anti bahkan menjadi sebuah momok untuk mengetahui lagu Genjer Genjer tersebut lebih jauh lagi. Hal ini menjadi trauma psikologis terutama pada golongan masyarakat yang mengalami langsung kejadian beberapa tahun silam yang berhubungan dengan komunis.
Tahap selanjutnya hingga saat inipun lagu tersebut entah ada larangan resmi atau tidak oleh pemerintah telah berpengaruh menjadi psikologi lintas budaya karena tak satupun musisi dan masyarakat yang dengan secara langsung dan terbuka menyanyikan lagu tersebut. Hanya sebagian kecil musisi yang dengan berani menyanyikan lagu tersebut tetapi untuk event tertentu saja. Bahkan sebuah pertunjukan musik yang menyanyikan lagu Genjer Genjer telah dibubarkan oleh pihak kepolisian yang berwenang di daerah tersebut.
Bagaimana lagu Genjer Genjer bisa menjadi korban pengebirian dan eksploitasi seni? Dan mengapa terjadi dalam intra budaya kemudian meluas menjadi psikologi lintas budaya?
Hal ini mungkin saja terjadi karena pengaruh sosial politik yang dimanipulasi oleh oknum yang paling berpengaruh pada sebuah rezim. Telah dikatakan tadi bahwa psikologi dunia saat ini salah satunya dipengaruhi oleh sistem politik dan sosial. Sedangkan seni adalah bagian kecil dari olah budaya yang dihasilkan oleh masyarakat yang kreatif dalam imajinasinya. Kita dapat berkilas balik tentang hal ini ketika Indonesia mengalami beberapa kali pengebirian hasil kesenian yang dianggap akan mengakibatkan terjadi sebuah psikologi budaya baru yang buruk.
Eksploitasi Seni Dalam Sebuah Rezim
Genjer Genjer adalah lagu berbahasa Osing, bahasa asli suku di Banyuwangi, Jawa Timur. Sebuah lagu daerah menjadi stigma negatif bagi seluruh bangsa suatu negeri hingga turun temurun juga terjadi hingga kini walaupun penguasa telah mencabut larangan menyanyikan dan atau mengedarkan lagu tersebut.
Namun, ketika lagu Genjer Genjer yang merupakan lagu hasil karya seorang musisi intra budaya tersebut diklaim sebagai lagu yang dilarang diperdengarkan oleh seluruh masyarakat lintas budaya. Apakah sang pencipta pernah terpikirkan ketika menciptakan lagu гидра зеркало berbahasa daerah tersebut akan menjadi sebuah lagu yang tidak layak diperdengarkan oleh masyarakat lintas budaya? Hal ini psikologi budaya universal benar-benar melakukan pengaruh kuat dibidang sosial politiknya. Sebuah rezim melarang memperdengarkan lagu itu karena konotasinya pada sebuah faham yang buruk pada kondisi politik saat itu. Lirik yang satire akan kondisi suatu jaman telah menyentil penguasa.
Meskipun sebelum rezim orde baru dimulai di Indonesia, terdapat banyak partai politik yang berlatar belakang berbeda dan salah satunya adalah Partai Komunis Indonesia. Saat itu lagu Genjer Genjer sudah mulai dinyanyikan oleh orang Banyuwangi dan sering diputar di radio setempat, bahkan sempat dinyanyikan oleh Bing Slamet dan Lilis Suryani. Kemudian seorang petinggi PKI kemudian jatuh cinta dengan lagu ini dan setiap ada rapat rapat besar maupun kecil dalam tubuh PKI selalu ada nyanyian ini.
Pencipta lagu ini Muhammad Arief yang pada saat itu terekrut menjadi anggota Lekra (Lembaga Kesenian Rakyat) sebagai wadah seniman saat itu. Dia juga dipercaya menciptakan Mars Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia). Lengkaplah sudah, dalam hal ini eksploitasi seni dalam rezim juga telah terjadi.
Setelah Orde Baru dimulai, PKI diputuskan dilarang hidup di Indonesia sehingga apapun atribut yang berhubungan dengan PKI dinyatakan dilarang keras keberadaanya termasuk lagu Genjer Genjer. Cerita lain dari dilarangnya lagu ini diperdengarkan adalah karena liriknya yang asli telah dirubah oleh penentang penguasa saat itu. Liriknya yang diubah telah menohok penguasa dan makin keraslah larangan terhadap lagu ini.
Lagu Genjer Genjer hingga saat ini hanyalah sepenggal cerita tentang eksploitasi seni dalam rezim dan telah memakan korban tidak hanya sang pencipta lagunya tetapi orang-orang yang sempat membuka mulutnya mendendangkan lagu inipun telah ditumpas habis. Hingga saat ini bahkan orangtua kita dan kitapun yang menyukai lagu tersebut berani mendendangkan lagu ini hanya dalam hati saja. Thanks to Anna